Esensi Idul Adha dalam Ketaatan dan Kemanusiaan

    Esensi Idul Adha dalam Ketaatan dan Kemanusiaan
    ilustrasi

    SURABAYA — Hari Raya Idul Adha kembali hadir dengan pesan ketaatan dan kemanusiaan nan luhur yang dinilai sebagai tanda membunuh sifat negatif dan karakter kebinatangan pada diri manusia. Idul Adha mengedukasi umat Islam untuk memiliki kesatupaduan berkurban dengan prinsip kedekatan vertikal kepada Tuhan, sekaligus kedekatan horizontal dengan sesama.

    Melalui misi suci yang diteladankan Nabi Ibrahim, yang diperintahkan Allah menyembelih putra tercinta, Ismail, dalam beberapa kali mimpinya. Sang ayah pun berdialog dari hati ke hati dengan putranya. Namun keputusan besar dari Ismail justru mengukuhkan keyakinan ayahnya. “Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang yang sabar” (QS Ash-Shaffat 37: 102).

    Pengorbanan pun dilakukan Nabi Ibrahim di Lembah Mina yang sepi dan sunyi. Setan gencar merayu agar Nabi Ibrahim mengurungkan niatnya untuk menyembelih anaknya sendiri. Namun, Nabi Ibrahim tetap mengukuhkan imannya dengan berpindah tempat tiga kali, yang kemudian diinisiasikan oleh jemaah haji dengan melempar tiga tugu jumrah di Mina.

    Dengan banyaknya godaan setan yang demikian kuat itu tidak menggugurkan ketauhidan seorang hamba kepada tuhannya. Pada akhirnya, Allah melihat keikhlasan Nabi Ibrahim dalam melaksanakan perintah, kemudian mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. Ujian iman ini pun dimenangi oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan sukses menjadi hamba yang taat, tabah, dan takwa dalam menjalankan perintah Allah.

    Keteladanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim juga dinilai sebagai bentuk edukasi humanis. Di era global ini banyak sekali permasalahan duniawi yang mengancam akal sehat manusia. Karenanya, berkurban ini hadir dengan tujuan untuk mengakhiri tradisi kekerasan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak hidup dari segala bentuk penjajahan dan perbudakan.

    Sesuai dengan yang diulas oleh Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru, Drs H M Zakaria dalam esainya yang berjudul Esensi Ibadah Qurban bahwa sesungguhnya esensi dari ibadah kurban bukanlah terletak pada daging bintang yang disembelih, melainkan terpancar nilainya berdasarkan motivasi yang melatar belakangi mengapa seseorang itu berkurban. Hal yang perlu diingat adalah penggunaan binatang dalam kegiatan ini hanyalah sebatas lambang hal-hal negatif dunia.

    Lebih lanjut, lambang negatif dan sifat-sifat buruk binatang  yang dimaksudkan adalah seperti rakus, tamak, kemaruk, dan cenderung memiliki insting membunuh sesama binatang diharapkan dapat dipangkas melalui satu hari yang suci ini. Esensi dari kurban berupa spirit yang perlu dikembangkan manusia adalah aktualisasi kedermawanan sosial dengan menyantuni, mengasihi, dan memberdayakan kaum lemah dan tidak berdaya.

    Pengorbanan yang diteladankan Nabi Ibrahim ini mempersembahkan alur kehidupan yang paling baik di era global saat ini. Ditunjukkan berkurban menghendaki ketulusan dan kerelaan tingkat tinggi dalam mencapai ketaatan kepada Allah. Adapun dengan harapan memangkas sifat buruk kebinatangan dalam diri manusia inilah yang dapat menumbuhkan kebaikan dan kebajikan demi nilai-nilai kemanusiaan. (*)

    Ditulis oleh: Fauzan Fakhrizal Azmi Departemen Fisika Angkatan 2020

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Bantu.Ind, Aplikasi Penyedia Layanan Harian...

    Artikel Berikutnya

    Tim UNAIR Sabet Juara 1 dan Best Presentation...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Saiful Chaniago: Muhammadiyah Sebagai Potret Pendidikan Indonesia
    Jusuf Rizak ke Bareskrim Polri Lengkapi Data Korupsi Dana Hibah BUMN PWI Pusat RP.2,9 Milyar
    Mahasiswa Halmahera Barat Raih Kesempatan Studi Lanjut Berkat Beasiswa PT. Dewa Agricoco Indonesia
    Saiful Chaniago: Nasdem, PKB, PKS Harus Legowo Sebagai Oposisi
    Korupsi CSR BUMN untuk UKW, LBH Pers Indonesia Minta PWI dan Dewan Pers Dibubarkan

    Ikuti Kami