Surabaya - Setiap tanggal 23 Juli selalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Berbagai permasalahan anak masih ditemui anak Indonesia, terlebih terjadi peningkatan karena pandemi Covid-19 seperti kekerasan pada anak, anak putus sekolah, korban human traficking, anak jalanan, hingga pekerja anak atau buruh anak. Permasalahan yang dihadapi anak Indonesia tersebut tentunya mencederai hak anak untuk belajar, bermain, mendapatkan kesamaan dan mendapatkan perlindungan.
Baca juga:
Universitas Brawijaya Raih Akreditasi Unggul
|
Terkait dengan hal tersebut, mari sejenak kita belajar pada film “Lion”. Lion merupakah sebuah otobiografi pengusaha Saro Brierley berjudul A Long Way Home yang kemudian di filmkan. Dikisahkan 2 dari 3 bersaudara, Guddu (10 tahun) dan Saroo (5 tahun) tinggal di sebuah daerah kumuh di India bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh harian yang mengumpulkan batu . Terdorong keinginan untuk membantu ibunya yang sebatang kara menghidupi dan harus membesarkan anak-anaknya, Guddu dan Saro memutuskan untuk meninggalkan masa bermain dengan teman sebayanya untuk bekerja.
Meskipun film Lion tidak secara langsung membahas masalah khusus ini, film ini membuka cakrawala yang menarik untuk memahami seperti apa pekerja anak dalam kehidupan sehari-hari dan dalam tulisan ini, digambarkan bagaimana dimensi budaya, ekonomi dan sosial pada cerita Guddu dan Saroo sebagai potret anak Indonesia beserta dinamika yang menjadikannya sebagai pekerja anak.
Pertama adalah dimensi budaya yang berkaitan dengan dimensi ekonomi, alur cerita yang mengharukan menceritakan perjuangan ibu tiga anak sebagai janda miskin di India. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, menyandang status janda di India adalah hal yang lumayan berat, karena masyarakat sosial akan menganggap itu kurang baik. Ada pula yang sengaja pergi dari rumah dan memilih datang ke sana sendiri lantaran tak kuasa mendapatkan tekanan dari sekitar. Kemiskinan dan diasingkan menghantarkan seorang wanita untuk mau menerima pekerjaan apa saja asalkan mendapatkan pekerjaan meskipun penghasilannya dibawah rata-rata.
Film yang meraih 6 nominasi Oscar di tahun 2017 tersebut memotret kemiskinan di India dan seorang ibu harus membesarkan 3 anaknya sendiri dalam aktivitas kerja yang dibayar rendah, sehingga menjadi suatu hal yang wajar apabila anak-anaknya turut membantu sang ibu mencukupi kebutuhan keluarga. Kondisi ini pun jamak dijumpai di negara - negara berkembang, termasuk Indonesia. Rumah tangga miskin atau keluarga prasejahtera secara ekonomi akan mengerahkan sumber daya keluarga secara kolektif untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi demikian memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan atau bahkan terjerumus dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak. Dampak yang mengkhawatirkan dari pekerja anak adalah rawan ekploitasi (misalnya dibayar lebih rendah daripada pekerja dewasa dengan beban kerja yang sama), serta kecenderungan untuk menikah pada usia dini. Hal tersebut terjadi karena dalam keseharian mereka sudah berinteraksi dengan pekerja dewasa yang membicarakan hal-hal yang seharusnya tabu bagi anak.
Ketiga, dimensi sosial, digambarkan pada film tersebut kebijakan pendidikan pemerintah India semakin membuka peluang terjadinya anak putus sekolah dan pekerja anak. Salah satu contohnya adalah sekolah negeri di India mengharuskan setiap orang tua untuk membeli seragam sekolah yang relatif mahal. Kewajiban tersebut tentunya tidak dapat dijangkau oleh keluarga Guddu dan Saroo, karena tanpa seragam, mustahil untuk sekolah.
Bagaimana dengan Indonesia?, penggunaan buku pelajaran yang selalu berganti - ganti setiap tahunnya sehingga tidak dapat digunakan lagi dan yang terbaru adalah pembelajaran online yang dilakukan selama pandemi Covid-19 berisiko meningkatkan jumlah pekerja anak di Indonesia.
Ujian ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang dialami bangsa ini menyebabkan pengurangan tenaga kerja pada sektor-sektor tertentu, angka kematian yang tinggi dan ketimpangan sosial dalam akses teknologi informasi untuk belajar secara daring semakin meningkatkan risiko munculnya banyak pekerja anak baru. Belum lagi ramai rencana pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah, tentunya hal itu akan semakin menjauhkan anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan hak belajarnya.
Ujian ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang dialami bangsa ini menyebabkan pengurangan tenaga kerja pada sektor-sektor tertentu, angka kematian yang tinggi dan ketimpangan sosial dalam akses teknologi informasi untuk belajar secara daring semakin meningkatkan risiko munculnya banyak pekerja anak baru. Belum lagi ramai rencana pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah, tentunya hal itu akan semakin menjauhkan anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan hak belajarnya.
Di peringatan Hari Anak Indonesia, masih banyak catatan yang menuntut kerjasama dan komitmen berbagai pihak, mulai dari pemerintah, para legislator, tokoh masyarakat, budayawan, tokoh agama, pemerhati anak, para pekerja seni, pemilik media, para pengusaha mulai dari skala mikro hingga skala besar, pengusaha nasional hingga multinasional untuk menghentikan laju pertumbuhan pekerja anak, karena bagaimanapun juga pekerja anak saat ini merupakan generasi yang menjadi tumpuan bangsa di 10 hingga 20 tahun yang akan datang sesuai dengan harapan yang tertuang pada tema Hari Anak Nasional tahun ini “ Anak Indonesia Terlindungi, Indonesia Maju”
Surabaya Jawa Timur
Copyright © 2017 Jurnalis Indonesia Satu - All Rights Reserved.